Bismillahirrahmanirrahim
A.Konsep Dasar Nyeri
1.Pengertian nyeri
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan
2.Fisiologi nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi. Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi. Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
3.Teori Pengontrolan nyeri (Gate control theory)
Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007)
Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter, 2005)
4.Respon Psikologis
respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien. Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain :
- Bahaya atau merusak
- Komplikasi seperti infeksi
- Penyakit yang berulang
- Penyakit baru
- Penyakit yang fatal
- Peningkatan ketidakmampuan
- Kehilangan mobilitas
- Menjadi tua
- Sembuh
- Perlu untuk penyembuhan
- Hukuman untuk berdosa
- Tantangan
- Penghargaan terhadap penderitaan orang lain
- Sesuatu yang harus ditoleransi
- Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki
Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya .
Respon fisiologis terhadap nyeri
- Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)
- Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
- Peningkatan heart rate
- Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP
- Peningkatan nilai gula darah
- Diaphoresis
- Peningkatan kekuatan otot
- Dilatasi pupil
- Penurunan motilitas GI
- Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)
- Muka pucat
- Otot mengeras
- Penurunan HR dan BP
- Nafas cepat dan irreguler
- Nausea dan vomitus
- Kelelahan dan keletihan
Respon tingkah laku terhadap nyeri
- Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:
- Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)
- Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)
- Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari & tangan
- Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan nyeri)
Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.
Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:
- Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima). Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.
- Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang. Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar. Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
- Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.
5. Faktor yang mempengaruhi respon nyeri
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas.
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.
- Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
- Skala intensitas nyeri deskritif
- Skala identitas nyeri numerik
- Skala analog visual
- Skala nyeri menurut bourbanis
Keterangan :
- 0 :Tidak nyeri
- 1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
- 4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
- 7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapatmengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi
- 10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adlah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.
Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).
B.Kenyamanan
Kenyamanan adalah konsep sentral tentang kiat keperawatan. Donahue (1989) meringkaskan “melalui rasa nyaman dan tindakan untuk mengupayakan kenyamanan, perawat memberikan kekuata, harapan, hiburan, dukungan, dorongan, dan bantuan.” Berbagai teori keperawatan menyatakan kenyamanan sebagai kebutuhan dasar klien yang merupakan tujuan pemberian asuhan keperawatan
Suatu cara panadang yang holistik tentang kenyamann membantu dalam upaya mengidentifikasi empat konteks :
- Fisik, berhubungan dengan sensasi tubuh.
- Sosial, berhubungan dengan hubungan interpersonal, keluarga, dan sosial.
- Psikospiritual, berhubungan dengan kewaspadaan internal dalam diri sendiri, meliputi harga diri, seksualitas dan makna kehidupan.
- Lingkungan, berhubungan dengan latar belakang pengalaman eksternal manusia : cahaya, bunyi, temperature, warna, dan unsur-unsur ilmiah
C.Pengobatan Farmakologi
Pendahuluan
Beberapa agens farmakologi digunakan untuk menangani nyeri. Semua agen tersebut memerlukan resep dokter. Keputusan perawat, dalam penggunaan obat-obatan dan penatalaksanaan klien yang menerima terapi farmakologi, membantu dalam upaya memastikan penanganan nyeri yang mungkin dilakukan.
Analgesik
Analgesik merupakan metode yang paling umum untuk mengatasi nyeri. Walaupun analgesic dapat mengatasi nyeri dengan efektif, perawat dan dokter masih cenderung tidak melakukan upaya analgesikdalam penanganan nyeri, karena informasi obat yang tidak benar, karena adanya kekhawatiran klien akan mengalami ketagihan obat, cemas akan melakukan kesalahan jika melakukan pengabatan analgesik narkotik, dan pemberian obat yang kurang dari yang diresepkan. Perawat harus mengetahui obat-obat yang tersedia untuk menghilangkan nyeri dan efek obat farmakologi tersebut..
Jenis Analgesik
- Non-Narkotik
- Obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID)
- Analgesik narkotik atau opiat
- Obat tambahan (Adjuvan)
Berikut penjelasannya :
Non-Narkotik
NSAID non-narkotik umumnya menghilangkan nyeri ringan dan nyeri sedang, seperti nyeri yang terkait dengan artritis reumatoid, prosedur pengobatan gigi dan prosedur bedah minor, episiotomi, dan masalah pada punggung bagian bawah. Satu pengecualian yaitu ketorolak (Toradol), merupakan agens analgesik utama yang diinjeksikan yang kemanjurannya dapat di bandingkan dengan morfin.
Obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID)
Terapi pada nyeri pascaoperasi ringan sampai sedang harus dimulai dengan menggunakan NSAID, kecuali kontradiksi. Walaupun mekalisme kerja NSAID tidak diketahui, NSAID diyakini bekerja menghambat sintesis prostaglandin, dan menghambat respon selular selama inflamasi. Kebanyakan NSAID bekerja pada reseptor syaraf periferuntuk menguranggi transmisi dan resepsi stimulus nyeri. Berikut obat-obat NSAID :
Ibuprofen : * Dismenore
Naproksen : * Nyeri kepala vaskular
Indometasin : * Artritis reumatoid
Tolmetin : * Cedera atletik jaringan lunak
Piroksikam : * Gout
Ketorolak : * Nyeri pasca operasi dan nyeri traumatik berat
Analgesik narkotik atau opiat
Analgesik opiat atau narkotik umumnya diresepkan untuk nyeri yang sedang sampai berat, seperti nyeri pasca operasi dan nyeri maligne. Ini bekerja pada sistem saraf pusat untuk menghasilkan kombinasi efek yang mendepresi dan menstimulasi.
Analgesik narkotika, apabila diberikan secara oral atau injeksi, bekerja paada pusat otak yang paling tinggidan medulla spinalis melalui ikataan daan reseptor opiat untuk memodifikasi persepsi nyeri dan reaksi terhadap nyeri. Morfin sulfat merupakan derivat opium dan memiliki karakteristik efek analgesik sebagai berikut :
- Meningkatkan ambang nyeri, sehingga menurunkan presepsi nyeri.
- Mengurangi kecemasan dan ketakutan, yang merupakan komponen reaksi terhadap nyeri.
- Menyebabkan orang tertidur walaupun sedang mengalami nyeri berat.
Bahaya morfin sulfat dan analgesik narkotik adalah berpotensi mendepresi fungsi sistem saraf dan vital. Opiat menyebabkan depresi pernapasan melalui depresi pusat pernapasan di dalam batang otak. Klien juga mengalami efek samping , seperti mual, muntah, konstipasi, dan perubahan proses mental. Karakteristik analgesik yang ideal meliputi :
- Awitannya yang cepat.
- Keefektifannya yang lama.
- Efektif digunakan pada semua usia.
- Penggunaan melalui parenteral dan oral.
- Tidak ada efek samping yang berat.
- Sifat yang membuat klien tidak tergantung analgesik.
- Tidak mahal.
Adjuvan
Adjuvan, seperti sedatif, anticemas, dan relaksan ototmeningkatkan kontrol nyeri atau menghilangkan gejala lain selain nyeri yang terkait dengan nyeri, seperti depresi dan mual. Agens tersebut diberikan dalam bentuk tunggal atau disertai analgesik. Sedatif seringkali di resepkan untuk penderita nyeri kronik. Obat-obaatan ini seringkali menimbulkan rasa kantuk dan kerusakaan koordinasi, keputusan daan kewaspaadaan mental. Penyalahgunaan sedatif dan agens anticemas merupakan masalah kesehatan yang serius yang menyebabkan gangguan perilaku.
D.Prinsip Keperawatan untuk Pemberian Analgesik
Berikut ini adalah prinsip keperawatan untuk pemberian analgesik :
Mengetahui Respon Klien Sebelumnya terhadap Analgesik
- Tetapkan apakah nyeri yang klien rasakan telah menghilang .
- Tanyakan apakaah non-narkotik seefektif dengan narkotik.
- Identifikasi dosis dan rute pemberian sebelumnya.
- Tetapkan apakah klien mempunyai alergi.
Seleksi Medikasi yang Tepat Apabila Diberikan Lebih dari Satu Obat
- Gunakan analgesik non narkotik atau narkotik untuk mengatasi nyeri ringan sampai nyeri sedang.
- Mengetahui bahwa non narkotik dapat di ganti dengan agens narkotik.
- Pada lansia, hindari kiombinasi narkotik.
- Ingat bahwa morfin dan hidro morfin merupakan agens narkotik pilihan untuk penatalaksanaan jangka panjang pada nyeri yang berat.
- Ketahui bahwa medikasi injeksi bekerja lebih cepat dan menghilangkan nyeri ankut dan nyeri berat dalam satu jam dan bahwa medikasi oral memakan waktu dua jam untuk menghilangkan nyeri.
- Gunakan narkotik disertai analgesik non narkotik untuk nyeri berat karena kombinasi tersebut mengatasi nyeri secara perifer dan sentral.
- Untuk nyeri kronik, berikan obat oral untuk menghilangkan nyeri secara terus menerus.
Ketahui dosis yang akurat
- Ingat bahwa dosis pada tingkat tertinggi yang normal umumnya dibutuhkan untuk nyeri berat.
- Sesuaikan dosis menurut kebutuhan, dosis untuk anak dan lansia.
Kaji waktu pemberian obat dan interfal yang benar
- Berikan analgesik segera setelah nyeri terjadi dan sebelum nyeri semakin berat.
- Jangan berikan analgesik hanya berdasarkan jadwal. Ingat bahwa pemberian obat mengikuti perputaran jam biasanya merupakan cara yang terbaik.
- Berikan anlagesik sebelum klien menjalani prosedur atau aktivitas yang menyebabkan nyeri.
- Ketahui durasi rata-rata kerja sebuah obat dan waktu pemberian sehingga efek puncak terjadi saat klien merasa nyeri paling intensif.
Daftar Pustaka
Perry Potter.(1999). Fundamental Keperawatan. Mosby : EGC
Priharjo, R (1993). Perawatan Nyeri, pemenuhan aktivitas istirahat. Jakarta : EGC
Shone, N. (1995). Berhasil Mengatasi Nyeri. Jakarta : Arcan.
Ramali. A. (2000). Kamus Kedokteran : Arti dan Keterangan Istilah. Jakarta : Djambatan.
Syaifuddin. (1997). Anatomi fisiologi untuk siswa perawat.edisi-2. Jakarta : EGC.
Tamsuri, A. (2007). Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta : EGC.