Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Container Icon

Barakallahu fikum

Selamat datang saudara-saudariku, memulai dengan basmalah yuk ,,, :-)

Dermatitis Atopik


 Bismillahirrahmanirrahim
Dermatitis Atopik
 
A.    Definisi
Dermatitis atopik (DA) ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak,sering berhubungan dengan peningkatan IgE dalam serum dan riwayat atopi keluarga atau penderita (DA, rhinitis alergi, dan atau asma bronchial)(Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).


B.     Bentuk DA
Didapatkan dua tipe DA, bentuk alergik yang merupakan bentuk utama (70-80%pasien) terjadi akibat sensitisasi terhadap alergen lingkungan disertai dengan peningkatan kadar IgE serum. Bentuk lain adalah bentuk intrinsik atau non alergik, terdapat pada 20-30% pasien, dengan kadar IgE rendah dan tanpa sensitisasi terhadap alergen lingkungan.  Dapat disimpulkan bahwa peningkatan kadar IgE bukan merupakan prasyarat pada patogenesis dermatitis atopik. Terdapat pula konsep bentuk murni (Pure Type), tanpa berkaitan dengan penyakit saluran nafas dan bentuk campuran (Mixed Type) yang terkait dengan sensitisasi terhadap alergen hirup atau alergen makanan disertai dengan peningkatan kadar IgE(Soebaryo R.W., 2009).
C.    Etiologi
Penyebab dermatitis atopik tidak diketahui dengan pasti, diduga disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan (multifaktorial). Faktor intrinsik berupa predisposisi genetik, kelainan fisiologi dan biokimia kulit, disfungsi imunologis, interaksi psikosomatik dan disregulasi/ ketidakseimbangan sistem saraf otonom, sedangkan faktor ekstrinsik meliputi bahan yang bersifat iritan dan kontaktan, alergen hirup, makanan, mikroorganisme, perubahan temperatur, dan trauma (Fauzi N., dkk.,2009).
Faktor psikologis  dan psikosomatis dapat menjadi faktor pencetus(Mansjoer A.,dkk., 2001).
faktor pencetus lain diantaranya
·         Makanan
Berdasarkan hasil Double Blind Placebo Controlled Food Challenge (DBPCFC), hampir 40% bayi dan anak dengan DA sedang dan berat mempunyai riwayat alergi terhadap makanan. Bayi dan anak dengan alergi makanan umumnya disertai uji kulit (skin prick test) dan kadar IgE spesifik positif terhadap pelbagai macam makanan. Walaupun demikian uji kulit positif terhadap suatu makanan tertentu, tidak berarti bahwa penderita tersebut alergi terhadap makanan tersebut, oleh karena itu masih diperlukan suatu uji eliminasi dan provokasi terhadap makanan tersebut untuk menentukan kepastiannya (Judarwanto W., 2009).Prevalensi reaksi alergi makanan lebih banyak pada anak dengan dermatitis atopik berat. Makanan yang sering mengakibatkan alergi antara lain susu, telur, gandum, kacang-kacangan kedelai dan makanan laut(Roesyanto I.D., &Mahadi., 2009).
·         Alergen hirup
Alergen hirup sebagai penyebab DA dapat lewat kontak, yang dapat dibuktikan dengan uji tempel, positif pada 30-50% penderita DA, atau lewat inhalasi.Reaksi positif dapat terlihat pada alergi tungau debu rumah (TDR) bulu binatang rumah tangga, jamur atau ragweed di negara-negara dengan 4 musim(Judarwanto W., 2009).
·         Infeksi kulit
Mikroorganisme telah diketahui sebagai salah satu faktor ekstrinsik yang berperan memberi kontribusi sebagai pencetus kambuhnya dermatitis atopik.Mikroorganisme utamanya adalah Staphylococcus aureus (SA).Pada penderita DA didapatkan perbedaan yang nyata pada jumlah koloni Staphylococcus aureus dibandingkan orang tanpaatopik.Adanya kolonisasi Staphylococcus aureus pada kulit dengan lesi ataupun non lesi pada penderita dermatitis atopik, merupakan salah satu faktor pencetus yang penting pada terjadinya eksaserbasi, dan merupakan faktor yang dikatakan mempengaruhi beratnya penyakit. Faktor laindari mikroorganisme yang dapat menimbulkan kekambuhan dari DA adalah adanya toksin yangdihasilkan oleh Staphylococcus aureus. Enterotoksin yang dihasilkan Staphylococcus aureus ini dapat menembus fungsi sawar kulit, sehingga dapat mencetuskan terjadinya inflamasi.Enterotoksin tersebut bersifat sebagai superantigen, yang secara kuat dapat menstimulasi aktifasi sel T dan makrofagyang selanjutnya melepaskan histamin.Enterotoxin Staphylococcus aureus menginduksi inflamasi pada dermatitisatopik dan memprovokasi pengeluaran antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus, tetapi menurut penelitian dari Fauzi nurul,dkk, 2009.,tidak didapatkan korelasi antara jumlah kolonisasi Staphylococcus aureus dan kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus.

D.    Patogenesis
Berbagai faktor turut berperan pada pathogenesis DA, antara lain faktor genetik terkait dengan kelainan intrinsik sawar kulit, kelainan imunologik,dan faktor lingkungan(Soebaryo R.W., 2009).
a.       Genetik
Genetik Pengaruh gen maternal sangat kuat. Ada peran kromosom 5q31-33, kromosom 3q21, serta kromosom 1q21 and 17q25. Juga melibatkan gen yang independen dari mekanisme alergi. Ada peningkatan prevalensi HLA-A3 dan HLA-A9.Pada umumnya berjalan bersama penyakit atopi lainnya, seperti asma dan rhinitis. Risiko seorang kembar monosigotik yang saudara kembarnya menderita DA adalah 86%(Judarwanto W., 2009).
Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopi keluarga akan mengalami DA pada masa 3 bulan pertama kehidupan, bila salah satu orang tua menderita atopi, lebih dari separuh jumlah anak akan mengalami gejala alergi sampai usia 2 tahun, dan meningkat sampai 79% bila kedua orangtua menderita atopi.Risiko mewarisi DA lebih tinggi bila ibu yang menderita DA dibandingkan dengan ayah. Tetapi bila DA yang dialami berlanjut hingga masa dewasa maka risiko untuk mewariskan kepada anaknya sama saja yaitu kira-kira 50%.
b.      Sawar kulit
Hilangnya Ceramide dikulit, yang berfungsi sebagai molekul utama pengikat air diruang ekstraseluler stratum korneum, dianggap sebagai penyebab kelainan fungsi sawar kulit.Variasi ph kulit dapat menyebabkan kelainan metabolisme lipid di kulit. Kelainan fungsi sawar mengakibatkan peningkatan transepidermal water loss, kulit akan semakin kering dan merupakan port d’entry untuk terjadinya penetrasi alergen, iritan, bakteri dan virus.Bakteri pada pasien DA mensekresi ceramide sehingga menyebabkan kulit makin kering(Soebaryo R.W., 2009).          
Respon imun kulit Sel-sel T baik subset CD4+ maupun subset CD8+ yang diisolasi dari kulit (CLA+ CD45RO+ T cells) maupun dari darah perifer, terbukti mensekresi sejumlah besar IL-5 dan IL-13, sehingga dengan kondisi ini lifespan dari eosinofil memanjang dan terjadi induksi pada produksi IgE. Lesi akut didominasi oleh ekspresi IL-4 dan IL-13, sedangkan lesi kronik didominasi oleh ekspresi IL-5, GM-CSF, IL-12, dan IFN-g serta infiltrasi makrofag dan eosinofil(Judarwanto W., 2009).
Imunopatologi Kulit  Pada DA, sel T yang infiltrasi ke kulit adalah CD45RO+. Sel T ini menggunakan CLA maupun reseptor lainnya untuk mengenali dan menyeberangi endotelium pembuluh darah. Di pembuluh darah perifer pasien DA, sel T subset CD4+ maupun subset CD8+ dari sel T dengan petanda CLA+CD45RO+ dalam status teraktivasi (CD25+, CD40L+, HLADR+). Sel yang teraktivasi ini mengekspresikan Fas dan Fas ligand yang menjadi penyebab apoptosis.Sel-sel itu sendiri tidak menunjukkan apoptosis karena mereka diproteksi oleh sitokin dan protein extracellular matrix (ECM). Sel-sel T tersebut mensekresi IFN g yang melakukan upregulation Fas pada keratinocytes dan menjadikannya peka terhadap proses apoptosis di kulit. Apoptosis keratinosit diinduksi oleh Fas ligand yang diekspresi di permukaan sel-sel T atau yang berada di microenvironment(Judarwanto W., 2009).
c.       Lingkungan
Sebagai tambahan selain alergen hirup, alergen makanan, eksaserbasi pada DA dapat dipicu oleh berbagai macam infeksi, antara lain jamur, bakteri dan virus, juga pajanan tungau debu rumah dan binatang peliharaan. Hal tersebut mendukung teori Hygiene Hypothesis(Roesyanto I.D., &Mahadi., 2009).
Hygiene Hypothesis menyatakan bahwa berkurangnya stimulasi sistem imun oleh pajanan antigen mikroba dinegara barat mengakibatkan meningkatnya kerentanan terhadap penyakit atopik(Sugito T.L., 2009).
Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti DA belum semuanya diketahui, demikian pula pruritus pada DA.Rasa gatal dan rasa nyeri sama-sama memiliki reseptor di taut dermoepidermal, yang disalurkan lewat saraf C tidak bermielin ke saraf spinal sensorik yang selanjutnya diteruskan ke talamus kontralateral dan korteks untuk diartikan.Rangsangan yang ringan, superfisial dengan intensitas rendah menyebabkan rasa gatal, sedangkan yang dalam dan berintensitas tinggi menyebabkan rasa nyeri. Sebagian patogenesis DA  dapat dijelaskan secara imunologik dan nonimunologik(Judarwanto W., 2009).
d.      Imnopatogenesis DA
Histamin dianggap sebagai zat penting yang memberi reaksi dan menyebabkan pruritus.Histamin menghambat kemotaksis dan menekan produksi sel T.Sel mast meningkat pada lesi dermatitis atopik kronis.Sel ini mempunyai kemampuan melepaskan histamin.Histamin sendiri tidak dapat menyebabkan lesiekzematosa.kemungkinan zat tersebut menyebabkan pruritus dan eritema, mungkin akibat garukan karena gatal menimbulkan lesi ekzematosa.Pada pasien dermatitis atopik kapasitas untuk menghasilkan IgE secara berlebihan diturunkan secara genetik. Demikian pula defisiensi sel T penekan  (suppressor). Defisiensi sel ini menyebabkan  produksi berlebih igE(Mansjoer A.,dkk., 2001).
Respon Imun Sistemik Terdapat IFN-g yang menurun.Interleukin spesifik alergen yang diproduksi sel T pada darah perifer (interleukin IL-4, IL-5 dan IL-13) meningkat.Juga terjadi Eosinophilia dan peningkatan IgE(Judarwanto W., 2009).
         Reaksi imunologis DA
Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam keluarganya seperti asma bronkial, rinitis alergi, atau dermatitis atopik. Sebagian besar anak dengan DA (sekitar 80%), terdapat peningkatan kadar IgE total dan eosinofil di dalam darah. Anak dengan DA terutama yang moderat dan berat akan berlanjut dengan asma dan/atau rinitis alergika di kemudian hari (allergic march), dan semuanya ini memberikan dugaan bahwa dasar DA adalah suatu penyakit atopi.
       Ekspresi sitokin
Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat berperan pada reaksi inflamasi penderita Dermatitis Atopik (DA). Pada lesi yang akut ditandai dengan kadar Il-4, Il-5, dan Il-13 yang tinggi sedangkan pada DA yang kronis disertai kadar Il-4 dan Il-13 yang lebih rendah, tetapi kadar Il-5, GM-CSF (granulocyte-macrophage colony-stimulating factor), Il-12 dan INFg lebih tinggi dibandingkan pada DA akut.
Anak dengan bawaan atopi lebih mudah bereaksi terhadap antigen lingkungan (makanan dan inhalan), dan menimbulkan sensitisasi terhadap reaksi hipersentivitas tipe I. Imunitas  seluler dan respons terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat akan menurun pada 80% penderita dengan DA, akibat menurunnya jumlah limfosit T sitolitik (CD8+), sehingga rasio limfosit T sitolitik (CD 8+) terhadap limfosit T helper (CD4+) menurun dengan akibat kepekaan terhadap infeksi virus, bakteri,  dan jamur meningkat.
Di antara mediator yang dilepaskan oleh sel mast, yang berperan pada pruritus adalah vasoaktif amin, seperti histamin, kinin, bradikinin, leukotrien, prostaglandin dan sebagainya, sehingga dapat dipahami bahwa dalam penatalaksanaan DA, walaupun antihistamin sering digunakan, namun hasilnya tidak terlalu menggembirakan dan sampai saat ini masih banyak silang pendapat para ahli mengenai manfaat antihistamin pada DA(Soebaryo R.W., 2009).Trauma mekanik (garukan) akan melepaskan TNF-a dan sitokin pro inflammatory lainnya diepidermis, yang selanjutnya akan meningkatkan kronisitas DA dan bertambah beratnya eksema(Judarwanto W., 2009).
e.       Antigen Presenting Cells
Kulit penderita DA mengandung sel Langerhans (LC) yang mempunyai afinitas tinggi untuk mengikat antigen asing (Ag) dan IgE lewat reseptor FceRI pada permukaannya, dan beperan untuk mempresentasikan alergen ke limfosit Th2, mengaktifkan sel memori Th2 di kulit dan yang juga berperan mengaktifkan Th0 menjadi Th2 di dalam sirkulasi(Judarwanto W., 2009).
f.       Faktor non imunologis
Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA antara lain adanya faktor genetik, yaitu kulit DA yang kering (xerosis). Kulit yang kering akan menyebabkan nilai ambang rasa gatal menurun, sehingga dengan rangsangan yang ringan seperti iritasi wol, rangsangan mekanik, dan termal akan mengakibatkan rasa gatal(Judarwanto W., 2009).
g.      Autoalergen
Sebagian besar serum pasien dermatitis atopik mengandung antibody IgE terhadap protein manusia.Autoalergen tersebut merupakan protein intraseluler,yang dapat dikeluarkan karena kerusakan keratinosit akibat garukan dan dapat memicu respon IgE atau sel T. pada dermatitis atopik berat, inflamasi tersebut dapat dipertahankan oleh adanya antigen endogen manusia sehingga dermatitis atopik dapat digolongkan sebagai penyakit terkait dengan alergi dan autoimunitas(Soebaryo R.W., 2009).

Keterangan: Pada individu yang memiliki predisposisi alergi, paparan pertama alergen menimbulkanaktivasi sel-sel allergen-specific T helper 2 (TH2) dan sintesis IgE, yang dikenal sebagai sensitisasi alergi. Paparan allergen selanjutnya akan menimbulkan penarikan sel-sel inflamasi dan aktivasi serta pelepasan mediator-mediator, yang dapatmenimbulkan early (acute) allergic responses (EARs) dan late allergic responses (LARs). Pada EAR, dalam beberapa menit3kontak dengan alergen, sel mast yang tersensitisasi IgE mengalami degranulasi, melepaskan mediator pre-formed danmediator newly synthesized pada individu sensitif. Mediator-mediator tersebut meliputi histamin, leukotrien dan sitokin yangmeningkatkan permeabilitas vaskuler, kontraksi otot polos dan produksi mukus.Kemokin yang dilepas sel mast dan sel-sellain merekrut sel-sel inflamasi yang menyebabkan LAR, yang ditandai dengan influks eosinofil dan sel-sel TH2.Pelepasaneosinofil menimbulkan pelepasan mediator pro-inflamasi, termasuk leukotrien-leukotrien dan protein-protein basic (cationicproteins, eosinophil peroxidase, major basic protein and eosinophil-derived neurotoxin), dan mereka merupakan sumber dariinterleukin-3 (IL-3), IL-5, IL-13 dan granulocyte/macrophage colony-stimulating factor.Neuropeptides juga berkonstribusipada patofisiologi simptom alergi(Endaryanto E., & Harsono A., 2010).



A.    Manifestasi klinis
Manifestasi klinis DA berbeda pada setiap tahapan atau fase perkembangan kehidupan, mulai dari saat bayi hingga dewasa.Pada setiap anak didapatkan tingkat keparahan yang berbeda, tetapi secara umum mereka mengalami pola distribusi lesi yang serupa(Zulkarnain I., 2009).
Kulit penderita DA umumnya kering,pucat/redup, kadar lipid diepidermis berkurang dan kehilangan air lewat epidermis meningkat.Penderita DA cenderung tipe astenik, dengan intelegensia diatas rata-rata,sering merasa cemas, egois, frustasi, agresif, atau merasa tertekan(Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

Subyektif selalu terdapat pruritus.Terdiri atas 3 bentuk, yaitu:
1.      Bentuk infantil( 0- 2 tahun).
Lesi awal dermatitis atopik muncul pada bulan pertama kelahiran, biasanya bersifat akut, sub akut, rekuren, simetris dikedua pipi(Zulkarnain I., 2009).Karena letaknya didaerah pipi yang berkontak dengan payudara, sering disebut eksema susu.Terdapat eritem berbatas tegas, dapat disertai papul-papul dan vesikel-vesikel miliar, yang menjadi erosif, eksudatif, dan berkrusta. Tempat predileksi dikedua pipi, ekstremitas bagian fleksor, dan ekstensor(Mansjoer A.,dkk., 2001).
Rasa gatalyang timbul sangat mengganggu sehingga anak gelisah, susah tidur, dan sering menangis. Pada umumnya lesi DA infantil eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat mengalami infeksi.Lesi dapat meluas generalisata bahkan walaupun jarang, dapat terjadi eritroderma. Sekitarusia 18 bulan mulai tampak likenifikasi. (Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).
2.      Bentuk anak (2- 12 tahun)
Awitan lesi muncul sebelum umur 5 tahun.Sebagian merupakan kelanjutan fase bayi.Pada kondisi kronis tampak lesi hiperkeratosis, hiperpigmentasi, dan likenifikasi. Akibat adanya gatal dan garukan,akan tampak erosi, eksoriasi linear yang disebut starch marks.Tempat predileksi tengkuk, fleksor kubital, dan fleksor popliteal. Sangat jarang diwajah(Mansjoer A.,dkk., 2001).lesi DA pada anak juga bisa terjadi dipaha dan bokong(Zulkarnain I., 2009).
Eksim pada kelompok ini sering terjadi pada daerah ekstensor(luar) daerah persendian, (sendi pergelangan tangan, siku, dan lutut), pada daerah genital juga dapat terjadi(Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).

3.      Bentuk dewasa(> 12 tahun)
Bentuk lesi pada fase dewasa hampir serupa dengan lesi kulit fase akhir anak-anak(Zulkarnain I., 2009).Lesi selalu kering dan dapat disertai likenifikasi dan hiperpigmentasi.Tempat predileksi tengkuk serta daerah fleksor kubital dan fleksor popliteal.
Manifestasi lain berupa kulit kering dan sukar berkeringat, gatal-gatal terutama jika berkeringat. Berbagai kelainan yang dapat menyertainya ialah xerosis kutis, iktiosis, hiperlinearis Palmaris et plantaris, pomfoliks, ptiriasis alba, keratosis pilaris (berupa papul-papul miliar, ditengahnya terdapat lekukan), dll. (Mansjoer A.,dkk., 2001).
Pada orang dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh apabila mengalami stress, mungkin karena stress menurunkan ambang rangsang gatal. DA remaja cenderung berlangsung lama kemudian menurun dan membaik (sembuh) satelah usia 30 tahun,jarang sampai usia pertengahan, hanya sebagian kecil berlangsung sampai tua(Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).




Wallahu"allam

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Follow My Blog, :-)