Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Container Icon

Barakallahu fikum

Selamat datang saudara-saudariku, memulai dengan basmalah yuk ,,, :-)

SISTEMIC LUPUS ERYTHEMATOUS (SLE)

Bismillahirrahmanirrahim 

Tinjauan Teoritis Medis

1.1  Definisi
SLE adalah Penyakit radang multi sistem yang sebabnya belum diketahui. Dengan perjalanan penyakit yang akut dan kronik disertai adanya berbagai macam auto antibody dalam tubuh.
SLE merupakkan suatu penyakit radang atau inflamasi multi sistem yang disebabkan oleh banyak faktor ( inserbg and horsfall ) dan karakteristik oleh adanya gangguan gangguan disgerulasi sistem imun berupa pengangkatan sistem imun dan produksi auto anti body yang berlebihan ( albar,2003).
            Terbentuknya autoantibody terhadap dSDNA, berbagai macam ribonikleoprotein intraseluler, sel-sel darah dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (albar,2003) melalui mekanisme pengaktifan komplemen (Epstein,1998).
            Sistem lupus erythematous adalah suatu penyakit kulit yang menahun yang ditandai dengan peradangan dan oembentukan jaringa parut yang terjadi pada wajah, telinga, kuli, kepala dan kandung pada bagian tubuh lainnya .

Klasifikasi
Penyakit Lupus yang diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu :
1.      Dicoid Lupus
lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas erithema yang meninggi, skuama, sumbatan falikuler dan telangiektasia. Lesi ini timbul dikulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung dan dada. Penyakit ini menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan jaringan parut.

2.      Sistemik lupus erythematous
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor dan karekteristik oleh adanya gangguan disgerulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi. Autoantibody yang berlebihan terbentuknya auto antibodi terhadap dSDNA, berbagai macam ribonuklea protein intraseluler, sel-sel darah dan fosfolipid dan dapat menyebabkan jaringan melalui mekanisme pengaktifan komplemen

3.      Lupus Yang diinduksikan oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DP-4 menyebabkan asetilatasi akan menjadi lambat. Obat banyak terakumulasi ditubuh sehinggan memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon benda asing oleh tubuh sehingga tubuh manusia membentuk kompleks antibody antinuklir ( ANA ) untuk menyerang benda asing tersebut.

Insiden
SLE lebih banyak terjadi pada wanita dari pada pria dengan perbandingan 10: 1. Perbandingan ini menurun menjadi 3 : 2 pada lupus yang diinduksi oleh obat.penyakit  SLE juga menyerang penderita usia produktif yaitu 15 – 64 tahun . meskipun begitu, penyakit ini dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia dan jenis kelamin. Prevalensi SLE berbeda-beda untuk tiap etnis yaitu etnis afrika. Amerika mempunyai prevalensi sebesar 1 kasus / 2000 populasi, cina 1 dalam 1000 populasi, 12 kasus / 100.000 populasi terjadi di inggris, 39 kasusdalm 100.000 populasi terdapat di swedia. Di newzeland, terjadi perbedaan antara etnis polinesian sebanyak 50 kasus / 100.00 populasi dengan orang kulit putih sebesar14,6 kasus dalam 100.000 populasi.
2.2 Etiologi
Faktor genetik
Lingkungan
Menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar Uvyang menyebar struktur DNA didaerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun didaerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit.SLE juga dapat diinduksikan oleh obat tertentu khususnya pada asetelator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi ditubuh sehingga memberikan kesmpatan tubuh membentuk kompleks antibodi antinukler ( ANA ) untuk menyerang benda asing tersebut
 ( herfindal et., al 2000 ).Makanan seperti wijen (alfafa sprouts)yang mengandung  asam amino L-Camavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE . selain itu virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imunabdengan mekanisme menyebabkan  perubahan pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral  sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE.

1.2  Patofisiologi
  Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut :
Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi.
Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non histon. Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.
Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan penurun uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai maca organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya.
Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten. 

1.4  Manifestasi klinis

Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya sistem imun. Pada tipe menahun terdapat remisi dan eksaserbasi. Remisinya mungkin berlangsung bertahun-tahun.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/ bakteri, obat misalnya golongan sulfa, penghentian kehamilan dan trauma fisis/psikis. Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, dan iritabilitas. Yang paling menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.

a. Gejala Muskuloskeletal

Gejala yang sering pada SLE ialah gejala muskuloskeletal, berupa artritis atau artralgia (93 %) dan acapkali mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering terkenal ialah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki. Selain pembengkakan dan nyeri mungkin juga terdapat efusi sendi yang biasanya termasuk kelas I (non-inflamasi) ; kadang-kadang termasuk kelas II (inflamasi). Kaku pagi hari jarang ditemukan. Mungkin juga terdapat nyeri otot dan miositis. Artritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan deformitas, kontraktur atau reumatoid. Nekrosis avaskular dapat terjadi pada berbagai tempat, dan terutama ditemukan pada pasien yang mendapat pengobatan dengan steroid dosis tinggi. Tempat yang paling sering terkena ialah kaput femoris.

b. Gejala mukokutan

Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85 % kasus SLE. Lesi kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut, subakut, diskoid dan livido retikularis.
Ruam kulit yang dianggap khas dan banyak menolong dalam mengarahkan diagnosis SLE ialah ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang agak edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas (photo-hypersensitivity). Lesi ini termasuk lesi kulit akut. Lesi kulit subakut yang khas berbentuk anular.
Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan atrofi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup sisik keratin disertai adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk sikatriks.
Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual.
Livido retikularis, suatu bentuk vaskulitis ringan, sangat sering ditemui pada SLE. Kelainan kulit yang jarang ditemukan ialah bulla (dapat menjadi hemoragik), ekimosis, petekie dan purpura.
Kadang-kadang terdapat urtikaria yang tidak berperan terhadap kortikosteroid dan antihistamin. Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit tenang secara klinis dan serologis.
Alopesia dapat pulih kembali jika penyakit mengalami remisi. Ulserasi selaput lendir paling sering pada palatum durum dan biasanya tidak nyeri. Terjadi perbaikan spontan kalau penyakit mengalami remisi. Fenomen Raynaud pada sebagian pasien tidak mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit, sedangkan pada sebagian lagi akan membaik jika penyakit mereda.

c.  Ginjal

Kelainan ginjal ditemukan pada 68 % kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah proteinuria dan atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik dan kegagalan ginjal jarang terjadi; hanya terdapat pada 25 % kasus SLE yang urinnya menunjukkan kelainan.
Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu nefritis penyakit SLE difus dan nefritis penyakit SLE membranosa. Nefritis penyakit SLE difus merupakan kelauanan yang paling berat. Klinis biasanya tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis penyakit SLE membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindrom nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.
Kelainan ginjal lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah pielonefritis kronik, tuberkulosis ginjal dan sebagainya. Gagal ginjal merupakan salah satu penyebab kematian SLE kronik.

d.  Kardiovaskular

Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat (efusi perikard), iskemia miokard dan endokarditis verukosa (Libman Sacks).

e.   Paru

Efusi pieura unilateral ringan lebih sering terjadi daripada yang bilateral. Mungkin ditemukan sel LE (lamp. dalam cairan pleura. Biasanya efusi menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat.
Diagnosis pneumonitis penyakit SLE baru dapat ditegakkan jika faktor-faktor lain seperti infeksi virus, jamur, tuberkulosis dan sebagainya telah disingkirkan.

f.   Saluran Pencernaan

Nyeri abdomen terdapat pada 25 % kasus SLE, mungkin disertai mual (muntah jarang) dan diare. Gejala menghilang dengan cepat jika gangguan sistemiknya mendapat pengobatan adekuat. Nyeri yang timbul mungkin disebabkan oleh peritonitis steril atau arteritis pembuluh darah kecil mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis dapat juga menimbulkan pankreatitis.

        g. Hati dan Limpa

Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang disertai ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang/ kembali normal.

 h.  Kelenjer Getah Bening
Pembesaran kelenjer getah bening sering ditemukan (50 %). Biasanya berupa limfa denopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Limfadenopati difus ini kadang-kadang disangka sebagai limfoma.

 

 i. Kelenjer Parotis

Kelenjer parotis membesar pada 6 % kasus SLE.

       j. Susunan Saraf Tepi

Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik. Biasanya bersifat sementara.

      k. Susunan Saraf Pusat

Gangguan susunan saraf pusat terdiri atas 2 kelainan utama yaitu psikosis organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE pada sistem-sistem lainnya. Pasien menunjukkan gejala delusi/ halusinasi disamping gejala khas kelainan organik otak seperti disorientasi, sukar menghitung dan tidak sanggup mengingat kembali gambar-gambar yang pernah dilihat.
Psikosis steroid juga termasuk sindrom otak organik yang secara klinis tak dapat dibedakan dengan psikosis penyakit SLE. Perbedaan antara keduanya baru dapat diketahui dengan menurunkan atau menaikkan dosis steroid yang dipakai. Psikosis penyakit SLE membaik jika dosis steroid dinaikkan, sedangkan psikosis steroid sebaliknya.
Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah korea, kejang tipe Jackson, paraplegia karena mielitis transversal, hemiplegia, afasia dan sebagainya.
Mekanisme terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak selalu jelas Faktor-faktor yang memegang peran antara lain vaskulitis, deposit gamaglobulin di pleksus koroideus
2.5  Penatalaksanaan
Pemeriksaan diagnostik
            Diagnosis  SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihans ecara penurunan berat badan dan kemungkinan pula arthritis, pleuritis dan perikarditis. Tidak ada 1 terlaboratorium megungkapkan anemia yang sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau leucopenia dan antibody antinukleus yang positif. Tes imunologi diagnostik lainnya mungkin tetapi tidak memastikan diagnostik.
a.       Anti ds DNA
Batas normal :  70 – 200 iu/mL
Negatif        :   < 70 iu/mL
Positif          : > 200 iu/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65-80%  penderita denga SLE aktif dan jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumblah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderitadengan penyakit reumatik dan lain-lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama Lupus glomerulonetritis. Jumlahnya mendekati negativ pada penyakit SLE yang tenang.
b.      Antinuklear antibodies ( ANA )
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimunyang lain. ANA adalah sekelompok antibody protein yang beraksi menyerang inti dari suatu sel. Ana cukup sensitif untuk mendektisi adanya SLE , hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE  tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut. Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumblah ANA diperkirakan menurun.
Jika hasil test negativ, maka pasien belum tentu negativ terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinis dan test laboratorium yang lain, jika hasil test posotof maka sebaiknya dilakukan test laboratorium yang lain tetapi jika hasil test negativ maka sebaiknya dilakukan test serelogi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-smith ( anti SM ). Anti RNP/antiribonukleo protein.

c.       Test laboratorium lain
Test laboratorium lainya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk monitoring tetapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin, lupus antikoagulan, urinalisis, serum kreatinin, test fungsi hepar.
2.6 Pengobatan
-Nonsteroid anti inflamatori drugs {NSAIDS}
NSAIDS berguna karena kemampuanya sebagai analgesic, antipiretik dan inflamasi. Obat ini berguna untuk mengatasi SLE dengan demam dan arthralgia/arthiritis. Aspirin adalah salah satu yang paling banyak diteliti kegunaannya. Ibuferon idometasin cukup efektif untuk mengobati SLE dengan arthiritisdan pleuritis, dalam kombinasi dengan steroid dan antimanalria. Keterbatasan obat ini adalah efek samping yang lebih sedikit, diharapkan dapat mengatasi hal ini, saying belum ada penelitian mengenai efektifitasnya pada SLE. Efek samping dari OAINS adalah: reaksi hipersensivitas, gangguan renal, retensi cairan, meningitis aseptik.
-Korticosteroid
Cara kerja steroid pada SLE adalah melalui mekanisme antiinflamasi dan amunosuprefh dari berbagai jenis steroid yang paling sering digunakan adalah pprednison dan multipred nisinosolon.
Pada SLE yang ringan yang tidak dapat dikontrol oleh NSAID dan antimalaria, diberikan prednison 2,5 mg samapai 5 mg,. Dosis ini ditingkatkan 20% 1 sampai 2 minggu tergantung dari respon klinis. Pada SLE yang akut dan yang mengancam jiwa langsung diberikan steroid, NSAID dan antimalariatidak efektif pada keadaan itu. Manifestasi serius SLE yang membaik de ngan steroid antara lain: vaskulitis, dermatitis berat miocarditis, lupus pneumonitis, glomerulonefritis, anemia haomolitik, neufropati perifer dan kasus lupus.Pada SLE aktif dan berat, terdapat beberapa regment pembenan steroid:
1.      Regmen I : daily oral short acting {predmison, prednisolon, multiprednisolon} dosis: 1-2mg/kgBB/hari dimulai dari dosis terbagi, lalu diturunkan secara bertahap sesuai dengan perbaikan klinis dan laboratories. Regimen ini sangat cepat mengontrol penyakit ini, 5-10 hari untuk manifestasi hamatologis atau saraf atau vaskulitis, 3-10 minggu untuk glumerulonefritis.
2.      Regimen II : methyprednisolon intravena, dosis : 500-1000mg/hari, selama 3-5 minggu atau 30 mg/kgBB/hari selama 3 hari. Regimen mungkin sangat cepat mengontrol penyakit lebih cepat dari pada terapi oral setiap hari, tetapi efek yang hanyan bersifat sementara, sehingga tidak digunakan untuk terapi SLE jangka lama.
3.      Regimen III : Kombinasi regimen 1 dan 2 obat sitoksit ezayhioprine cyclophos phamide.
Setelah kelainan klinis menjadi tenang dosis diturunkan dengan kecepatan 2,5-5 mg/minggu sampai dicapai maintenance dose.

-          Antimalaria
Efektifitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit dan sendi telah lama diketahui dan obat ini telah dianggap sebagai obat pilihan pertama untuk cara mengganggu pemoresan antigen dimakrofag  dan sel pengaji antigen yang lain dengan peningkatan PH di dalam vakuolalisosomal. Juga menghamabat dan mengabsorbsi sinar UV, bebera penelitian melaporkan bahwa antimalaria dapat menurunkan kolestrol total, HDL, LDL. Pada penderita SLE yang menerima steroidmaupun yang tidak.
Terdapat 3 obat antimalaria yang tersedia, hidroksikolokulin. Dosis 200-400mg/hari, klorokuin dan efek sampingnya lebih ringan. Efek samping antimalaria yang paling sering adalah efek pada saluran pencernaan, kembung, mual dan muntah. Efek ssamping lain adalah timbulnya ruam, toksisitas retin dan neurologis.
-          Methoreksat
Methoreksat adalah antagonis folat yang jika diberikan dalam dosis untuk penyakit rematik efek imunosupresifinyalebih lemah dari pada obat alkilating atau zat hioprin . methorekxate dosis rendah mingguan 7,5-15mg, efektif sebagai “steroid spring agent” dan dapat diterima baik oleh penderita, terutama pada manifestasi klinis dan muskluskletal.
Efek smaping yang paling seringdipakai adalah: lekopenia, ulkus oral, toksisitas gastrointestinal dan hepaktotoksitas. Untuk pemantauan efek samping diperlukan pemeriksaan darah lengkap, tes fungsi ginjal dan hepar pada penderita dengan efek samping gastrointestinal, pemberian asam folat 5mg tiap minggu akan mengurangi efek tersebut.

ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a.       Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
b.      Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
c.       Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.
d.      Sistem muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
e.       Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
f.       Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
g.      Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
h.      Sistem renal
Edema dan hematuria.
i.        Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP lainnya.

2.   Diagnosa Keperawatan dan intervensi
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen miokard kurang dari kebutuhan.
Tujuan             : Perbaikan dalam pernafasan
Kriteria hasil    : -Pasien tidak merasa sesak
                          -Dapat bernafas kembali dengan normaL
Intervensi
Rasional
1.Catat frekuensi jantung, irama, dan perubahan TD sebelum, selama, sesudah aktivitassesuai indikasi. Hubungkan dengan laporan nyeri dada/nafas pendek.



2.Tingkatkan istirahat  {tempat tidur /kursi}. Batasi aktivitas pada dasar nyeri/respon hemodimanik. .berikan aktivitas sengang yang tidak berat
3.Batasi penugunjung atau kunjungan oleh pasien


4.Anjurkan pasien menghindari peningkatan tekanan abdomen, contoh mengejan saat defikasi


5.Jelaskan pola peningkatan bertahap dari tingkat aktivitas, contoh bangun dari kursi bila tak ada nyeri, ambulasi dan istirahat setelah makan
1.kecenderungan menentukan respon pasien terhadap aktivitas dan dapt mengindifikasikan penurunan oksigen miokardia yang memerlukan penurunan tingkat aktivitas/kembali tirah baring, perubahan program obat, penggunaan oksigen tambahan
2.menurunkan kerja miokardia/konsumsi oksigen, menurunkan resiko komplikasi {contoh; perluasan miokardium}

3.Pembicaraan yang panjang sangat mempengaruhi pasien, namun periode yang tenang bersifat teraupetik.
4.Aktivitas memerlukan menahan nafas dan menunduk dapat mengakibatkan barikardi juga menurunkan jurah jantung dan takikardi dan peningkatan TD
5.Aktivitas yang maju memberikan control jantung, meningkatkan regangan dan mencegah aktivitas berlebihan.


Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan kompleks imun.
Tujuan             : Pemeliharaan integritas kulit
Kriteria hasil    : -Tidak terjadi kerusakan integritas kulit
                          -Tidak terjadi perubahan pada fungsi kulit
Intervensi
Rasional
1.lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan malserasi
2.Juga dengan cermat terhadap resiko terjadinya cedera termal akibat penggunaan kompres panas yang terlalu panas.
3.Nasehati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya
4.Kolaborasi pemberian NSAID dan kortikosteroid
1.Agar kulit tidak terpajan dengan sinar UV
2.Menghindari kerusakan integritas kulit


3.Menghambat reaksi sinar UV


4.Untuk memberikan efek antipiretik, antiinflamasi dan analgesic

 Nyeri berhubungn dengan kerusakan jaringan.
Tujuan                         : Perbaikan dalam tingkat kenyamanan
kriteria hasil                 : - Pasien merasa derajat nyeri menurun
                                      - Dapat melakukan relaksasi dan distraksi

Itervensi
Rasional
1.Lakukan sejumlah tindakan yang   memberikan kenyaman atau kompres panas/ dingin: masase, perubahan posisi, istirahat, kasur busa, bantal penyangga, bidai teknik relaksasi aktivitas yang mengalihkan perhatian.
2.Berikan preparat anti inflamasi analgesic seperti yang dianjurkan
3.Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap penatalaksanaan nyeri
4.Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta sifat kronik penyakitnya
5.Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari bahwa rasa nyeri sering membawanya kemetode terapi yang belum terbukti manfaatnya
6.Bantu dalam mengenali nyeri dalam kehidupan seorang yang membawa pasien untuk memakai metode terapi yang belum terbukti manfaatnya
7.Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri
1.mengendalikan rasa nyeri dan relaksasi terhadap nyeri





2.Mengurangi rasa nyeri dan memberikan kenyaman pasien
3.Mengatur kesiapan pasien untuk melakukan pengobatan

4.Mengetahui derajat keparahan nyeri pasien


5.Menjelaskan efek dari pengobatan yang sedang dijalani sekarang


6.metode terapi yang tepat


7.mengetahui rasa nyeri


Gangguan citra diri berhubungan dengan adanya edema
Tujuan : Dapat memberikan keseimbangan cairan untuk   mengurangi edema
Kriteria hasil: -Tidak terjadi edema
                        -Adanya pemberian cairan yang seimbang
INTERVENSI
RASIONAL
1.Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang kondisi dan pengobatan, dan ansietas sehubungan dengan situasi saat ini.
2.Diskusikan arti kehilangan/ perubahan pada pasien




3.Perhatikan perilaku menarik diri, tidak efektif menggunakan pengingkaran atau perilaku yang mengindikasikan terlalu mempermasalahkan tubuh dan fungsinya.
4.Kaji penggunaan substansi adiktif, contoh alcohol. Pengerusakan diri/perilaku bunuh diri.
5.Tentukan tahap berduka. Perhatiakan tandadepresi berat/lama.



6.Akui kenormalan perasaan.



7.Dorong menyatakan konflik kerja dan pribadi yang mungkintimbul, dan dengar dengan aktif.
8.Tentukan peran pasien dalam keluarga dan persepsi pasien akan diharapkan diri dan orang lain.

9.Anjurkan orang terdekat memperlakukan pasien secara normal dan bukan sebagai orang cacat.

10.Bantu pasien untuk memasukkan manajemen penyakit dalam pola hidup.

11.Identifikasi kakuatan, kaberhasilan dahulu, metode sebelumnya yang berhasil untuk mengatasi steesor hidup.
12.Bantu pasien mengidentifikasi area dimana mereka mempunyai beberapa tindakan konrtol. Beriakn kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan.
1.Mengidentifikasi luas masalah  dan perlunya intervensi.


2.Beberapa pasien memandang situasi sebagai tantangan, beberapa sulit menerima perubahan hidup/penampilan peran dan kehilangan kemampuan control tubuh sendiri.

3.Indikator terjadinya kesulitan menagani steres terhadap apa yang terjadi.



4.menunjukkan disfungsi koping dan upaya untuk menangani masalah dalam tindakan tidak efektif.
5.Identifikasi tahap yang pasien sedang alami memberikan pedoman untuk mangenal dan menerima perilaku dengan tepat. Depresi lama menunjukkan perlunya intervensi lanjut.
6.Pengenalan perasaan tersebut daharapkan membantu pasien untuk menerima dan mengatasinya secara efektif.
7.Membantu pasien mengidantifikasi dan solusi masalah.
8.Penyakit lama/permanen dan ketidakmampuan pasien untuk memenuhi peran dalam keluarga/kerja.
9.Menyampaikan harapan bahwa pasien mampu untuk mengatur situasi dan membantu untuk mempertahankan perasaan harga diri dan tujuan hidup.
10.Kebutuhan pengobatan memberikan aspek labil normal bila ini adalah bagian ruti sehari-hari.
11.Berfokus pada ingatan akan kemempuan sendiri mengahadapi amsalah dapat membantu pasien mengatasi situasi pasien saat ini.
12.Memeberikan perasaan control di atas situasi tak terkontrol, mengembalikan kemandirian.




Daftar Pustaka

Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.
Smeltzer. Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Volume 3. Jakarta : EGC.
Ruth F. Craven, EdD, RN, Fundamentals Of Nursing, Edisi II, Lippincot, Philadelphia, 2000
Wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, Cetakan I, EGC, Jakarta, 1997

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Follow My Blog, :-)